Perubahan makna iman menjadi sekadar "percaya" memang punya akar panjang sejak masa konflik politik yang memicu perpecahan pemikiran di tubuh umat Islam, terutama sejak Perang Shiffin. Mari kita urai secara runtut:
📍 1. Masa Perang Shiffin (Zaman Ali bin Abi Thalib vs Mu’awiyah, 657 M)
- Konflik Ali vs Mu’awiyah dalam Perang Shiffin menjadi titik awal munculnya aliran-aliran teologi:
 Khawarij: Keluar dari barisan Ali karena menolak arbitrase (tahkim). Mereka memaknai iman sebagai amal nyata, bukan sekadar pengakuan.
 Murji’ah: Muncul sebagai reaksi terhadap Khawarij. Mereka menekankan bahwa iman cukup di hati, urusan dosa adalah hak Allah. Dari sini mulai muncul konsep "iman = cukup percaya."
- Perundingan di Daumatul Jandal antara Amr bin Ash (wakil Mu’awiyah) dan Abu Musa Al-Asy’ari (wakil Ali) yang berakhir dengan tipu muslihat Amr bin Ash, memperkuat bibit-bibit perpecahan pemikiran.
📍 2. Masa Dinasti Umayyah (661–750 M)
- Kehidupan mewah para penguasa Umayyah memicu kritik dari kelompok oposisi, termasuk Syiah, Khawarij, dan Mu’tazilah.
- Untuk membendung oposisi, Umayyah cenderung mendukung paham Murji’ah (iman cukup percaya) karena mengurangi tekanan politik: “Asal hati percaya, meskipun penguasa zalim, biarlah urusan mereka dengan Allah.”
- Pada masa ini, iman mulai dipisahkan dari sikap hidup, menjadi lebih abstrak: cukup percaya, taat secara formal.
📍 3. Masa Dinasti Abbasiyah (750–1258 M): Era Universitas dan Filsafat
- Abbasiyah mengambil alih kekuasaan dengan dukungan kelompok yang menentang Umayyah, termasuk Syiah dan Mu’tazilah.
- Lahir universitas-universitas besar seperti Baitul Hikmah di Baghdad dan Universitas Cordoba di Andalusia, yang menjadi pusat pertemuan budaya Islam, Yunani, Persia, dan India.
- Terjadi perdebatan besar antara Mu’tazilah (iman = akal dan amal) vs Asy’ariyah (iman = cukup percaya, amal adalah pelengkap).
- Pada akhirnya, paham Asy’ariyah (iman = percaya) menjadi dominan, terutama setelah mendapat dukungan penguasa Abbasiyah.
📍 4. Masuk ke Indonesia: Perjumpaan dengan Alam Berpikir Lokal
- Saat Islam masuk ke Nusantara (abad ke-13), masyarakat telah memiliki alam berpikir Animisme, Hindu-Buddha,:Animisme: Percaya pada kekuatan roh (di hutan, batu, rumah, laut, dsb).
 Hindu-Buddha: Fokus pada keyakinan batin, meditasi, dan karma sebagai jalan keselamatan.
- Alam berpikir ini mendukung konsep “iman = cukup percaya”, karena sudah akrab dengan konsep keyakinan batin (inner belief) sebagai inti dari agama.
- Maka, ketika Islam datang, konsep iman ala Asy’ariyah (cukup percaya) lebih mudah diterima daripada konsep iman ala Mu’tazilah atau Khawarij (yang menuntut amal nyata sebagai bagian dari iman).Kesimpulan: Rantai Perubahan Makna Iman
- Perang Shiffin & Daumatul Jandal: Muncul Murji’ah (iman = percaya) vs Khawarij (iman = amal).
- Dinasti Umayyah: Murji’ah dominan (iman cukup percaya) karena cocok untuk stabilitas politik.
- Dinasti Abbasiyah: Asy’ariyah memantapkan konsep “iman cukup percaya” secara teologis.
- Universitas Cordoba & Baghdad: Konsep ini menyebar luas bersama tradisi keilmuan Islam.
- Masuk ke Indonesia: Bertemu dengan budaya Hindu-Buddha yang menekankan keyakinan batin, sehingga konsep “iman = percaya” lebih mudah diterima.Sekarang, mari kita analisis keterkaitannya dengan tulisan Max I Dimont :
 1. Kanonisasi: Firman Tuhan Menjadi Teks Formal
- Membakukan tafsir iman dalam bentuk teks yang diakui sebagai firman Tuhan.
- Mengubah ajaran lisan (pandangan hidup) menjadi aturan tertulis (dogma).
- Mengurangi aspek praktis (sikap hidup) menjadi aspek doktrinal (percaya saja).
🟡 A. Kanonisasi Perjanjian Lama (Old Testament):
- Kitab Yahudi (Tanakh) distandarisasi sebagai firman Tuhan.
- Fokus iman bergeser dari ketaatan terhadap hukum (Torah) menjadi kepercayaan pada janji Tuhan (perjanjian/ covenant).
- Konsep iman mulai dipahami sebagai “percaya kepada Yahweh” lebih dari sekadar amal.
🟠 B. Kanonisasi Perjanjian Baru (New Testament):
- Kristen mewarisi konsep "iman" dari Yahudi, tetapi memisahkan amal dari iman: "Manusia dibenarkan oleh iman, bukan oleh perbuatan hukum Taurat" (Roma 3:28).
- Paulus (tokoh utama Kristen awal) mempopulerkan doktrin "iman = percaya kepada Yesus", bukan lagi "taat kepada hukum."
- Konsep iman semakin abstrak, menjadi keyakinan batin (faith) tanpa syarat amal.
🟢 C. Islam: Antara Pandangan Hidup dan Reduksi Makna
- Al-Qur’an membawa kembali konsep iman sebagai pandangan hidup: (hati, lisan, dan amal).
- Namun, setelah perang Shiffin, konflik teologi, dan ekspansi kekuasaan, makna ini tergerus.
- Pengaruh pola kanonisasi ala Yahudi-Kristen muncul: iman mulai dipahami secara formalistik (“cukup percaya pada rukun iman”).
- Pola ini diperkuat saat ajaran Islam tersebar ke wilayah bekas kekuasaan Romawi (Kristiani) dan Persia (Zoroastrianisme), yang sudah terbiasa dengan konsep "iman sebagai doktrin."
📍 2. Ekspor Agama: Yahudi → Kristen → Islamisme
- Yahudi “memberikan” Old Testament kepada dunia melalui konsep covenant (iman = percaya pada janji Tuhan).
- Kristen “mengekspor” agama ke dunia dengan konsep faith only (iman = percaya kepada Yesus).
- “Islamisme” muncul sebagai ekspansi berikutnya, tetapi secara perlahan:Al-Qur’an: Iman adalah pandangan hidup yang holistik. Sejarah politik (Umayyah & Abbasiyah): Iman direduksi menjadi formalitas (cukup percaya).
📍 3. Indonesia: Akhir Rantai Ekspor Ide Iman
- Hindu-Buddha: Keselamatan dicapai melalui kesadaran batin (moksha), bukan sekadar amal fisik.
- Animisme: Hubungan dengan roh bersifat keyakinan personal, bukan kewajiban sistemik.
📍 4. Benang Merah Sejarah Iman = Percaya
- Yahudi (Covenant): Iman = Percaya pada janji Tuhan.
- Kristen (Faith Only): Iman = Percaya pada Yesus, bukan amal.
- Islamisme (Setelah Konflik): Iman = Percaya pada rukun iman (pengaruh Murji’ah dan Asy’ariyah).
- Indonesia (Sinkretisme): Iman = Percaya batiniah, sejalan dengan budaya Hindu-Buddha.
💡 Kesimpulan
- Max I. Dimont : Kanonisasi mengubah agama menjadi sistem doktrinal yang menekankan iman sebagai percaya, bukan sebagai pandangan dan sikap hidup.
- Perubahan makna iman di dunia Islam bukan murni dari Al-Qur’an, melainkan akibat:Perpecahan politik-teologi (Shiffin, Murji’ah, Asy’ariyah) Pengaruh ekspansi budaya Yahudi-Kristen (Covenant → Faith Only) Adaptasi budaya lokal (Hindu-Buddha di Indonesia)Sejarah Panjang Bangsa Indonesia.2. Babilonia 5000 SM & Migrasi Besar-besaran
- Babilonia (Mesopotamia): Peradaban besar di lembah Eufrat-Tigris, pusat awal kepercayaan kosmis (dewa-dewa langit, air, bumi)—akar animisme.
- Ledakan penduduk: Mendorong migrasi ke berbagai arah:Barat: ke Timur Tengah dan Eropa Utara: ke Asia Tengah Timur: hingga Asia Timur Selatan: ke Nusantara melalui Polinesia, Mikronesia, dan Melanesia
📍 2. Tahap 1: Animisme di Nusantara
- Dari Babilonia ke Polinesia–Mikronesia–Melanesia: Kepercayaan animisme terbawa: roh nenek moyang, pohon suci, gunung keramat.
- Alam Indonesia yang subur: Memperkuat pola berpikir bahwa alam adalah sumber kekuatan—"Alam hidup, manusia harus sejalan dengannya."
- Batu, pohon, dan sungai menjadi saksi keyakinan: Alam adalah roh.
📍 3. Basis Keyakinan Indonesia = Animisme yang Mendarah Daging
- Meski kemudian datang Hinduisme, Buddhisme, Islam, dan Kristen, dasar “alam berpikir” animisme tetap bertahan.
- Bukti: Hingga kini banyak tradisi lokal bercampur:Islam + kejawen (slametan, tahlilan) Kristen + adat Batak Bali Hindu + animisme lokal (upacara alam, pura di gunung, danau)
📍 4. Hubungan dengan Iman = Percaya
- Animisme: Iman = percaya pada daya gaib yang tak terlihat.
- Masuknya ajaran agama-agama (Hindu, Buddha, Islam) diserap dengan pola berpikir yang sama: “yang penting percaya pada yang gaib”—tanpa menekankan aspek amal, sistem, dan nilai-nilai ajaran.
- Maka, saat Islam datang, yang terserap kuat adalah syahadat (pengakuan iman), tetapi amal (syariat) sering menjadi nomor dua.
💡 Kesimpulan:
- Warisan animisme dari migrasi Babilonia via Polinesia–Mikronesia–Melanesia menjadikan “percaya pada Ruh di batu, gunung, rumah, dsb” sebagai pola dasar berpikir bangsa ini.
- Maka, saat Murji’ah (iman = percaya saja) masuk melalui Islam ala Dinasti Umayyah–Abbasiyah–Cordova–Melayu, langsung cocok dengan pola berpikir animisme.POSISI IMAM YANG EMPAT DALAM SEJARAH IMAN1. Imam Abu Hanifah (699–767 M) – Era Dinasti Umayyah & Awal Abbasiyah
- Dominasi: Dinasti Umayyah (661–750 M) hingga awal Dinasti Abbasiyah (750–1258 M).
- Imam Abu Hanifah hidup saat transisi dari Umayyah ke Abbasiyah.
- Mazhab Hanafi kemudian menjadi mazhab resmi Dinasti Abbasiyah dan menyebar luas hingga Asia Tengah, India, dan Turki Utsmani.
🕌 2. Imam Malik (711–795 M) – Era Abbasiyah Awal
- Dominasi: Dinasti Abbasiyah (750–1258 M).
- Berpusat di Madinah, beliau menyusun kitab Al-Muwaththa’, yang berisi praktik hukum di Hijaz.
- Mazhab Maliki menjadi kuat di Afrika Utara, Andalusia (Spanyol Muslim), dan sebagian wilayah Afrika Barat.
📖 3. Imam Syafi’i (767–820 M) – Era Abbasiyah
- Dominasi: Dinasti Abbasiyah (750–1258 M).
- Imam Syafi’i merupakan murid Imam Malik dan sempat berguru pada murid Imam Abu Hanifah.
- Mengembangkan metode ushul fiqh (al-risalah), menjadi rujukan utama dalam metodologi hukum Islam.
- Mazhab Syafi’i menyebar ke Mesir, Yaman, Irak, Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
🛡️ 4. Imam Ahmad bin Hanbal (780–855 M) – Era Abbasiyah & Fitnah Mihnah
- Dominasi: Dinasti Abbasiyah pada masa Khalifah Al-Ma'mun.
- Mengalami ujian berat saat peristiwa Mihnah (ujian doktrin Muktazilah).
- Mazhab Hanbali kemudian menjadi mazhab dominan di kawasan Jazirah Arab, terutama di bawah pengaruh Dinasti Saudi.
📌 Posisi dalam Konteks Dominasi dan Peradaban:
- Umayyah → Abbasiyah → Andalusia → Utsmani → Indonesia
- Pengaruh mazhab ini juga terbawa melalui ekspansi budaya dan peradaban Islam:Abu Hanifah (Hanafi): Asia Tengah, India, Turki. Malik (Maliki): Afrika Utara, Andalusia. Syafi’i (Syafi’i): Mesir, Yaman, Asia Tenggara. Ahmad (Hanbali): Arab Saudi.
 KONTAMINASIImam yang 4 (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad) sebenarnya tidak bermaksud memisahkan amal dari iman, tapi mereka hidup di era ketika makna iman sudah terkontaminasi akibat konflik teologi yang dimulai sejak Perang Shiffin (Ali vs Muawiyah). 🧩 1. Akar Masalah: Perang Shiffin dan Munculnya Dua Aliran Ekstrem- Setelah Perang Shiffin, terjadi perpecahan teologi tentang iman:- Khawarij: "Tanpa amal, bukan mukmin." → Amal = komponen iman.
- Murji’ah: "Iman cukup percaya di hati, amal tidak penting." → Amal = pelengkap iman.
 
 Murji’ah ini yang paling kuat memengaruhi Dinasti Umayyah, yang saat itu mewah, hedonis, tapi tetap mengklaim “beriman” tanpa peduli amal. 📖 2. Posisi Imam Empat dalam Kekacauan Ini:- Mereka berusaha menengahi tapi terjebak dalam ruang lingkup yang sudah menyempit (iman = percaya):- Abu Hanifah: Iman adalah percaya dengan hati dan lisan. Amal bukan bagian iman, tapi pelengkap. (Terpengaruh Murji’ah)
- Malik: Iman adalah ucapan, keyakinan, dan amal. Tapi, amal adalah pembuktian iman, bukan syarat mutlak.
- Syafi’i: Iman bertambah dengan amal, berkurang dengan maksiat. Amal tetap di luar definisi inti iman.
- Ahmad bin Hanbal: Iman mencakup hati, lisan, amal, tapi amal lebih sebagai konsekuensi iman.
 
 📌 3. Di Mana Kontaminasinya?- Mereka tetap membedakan ‘iman’ dari ‘amal’ → Sehingga iman menjadi ‘murakkab’ (gabungan) yang terpisah unsur-unsurnya.
- Padahal, ruang lingkup iman harusnya ‘bashith’ (satu kesatuan utuh): hati, lisan, amal = iman.
- Terjadi kompromi dengan pola pikir Murji’ah yang memisahkan amal sebagai “efek” iman, bukan “bagian” iman.
 🧩 4. Efek ke Indonesia:- Saat Islam masuk Indonesia, kerangka iman sudah ‘terkontaminasi’ dengan definisi Murji’ah:- Iman = percaya.
- Amal = hanya pelengkap, bukan bagian dari iman.
 
- Ini mudah diterima oleh budaya lokal (animisme, hinduisme, budhisme) yang lebih menekankan keyakinan batin daripada sistem amal yang terintegrasi dalam iman.
 💡 Kesimpulan:- Imam 4 sebenarnya bukan sumber masalah, mereka cuma berusaha menjembatani konflik zaman mereka.
- Tapi, konsep iman mereka tetap ‘murakkab’ (gabungan) bukan ‘bashith’ (satu kesatuan).
- Warisan ini menyebar sampai Indonesia, sehingga iman dipahami sebagai cukup percaya, bukan sebagai pandangan dan Sikap hidup yang utuh (bashith): hati, ucapan, amal dalam satu kesatuan.
 
- Setelah Perang Shiffin, terjadi perpecahan teologi tentang iman:

 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Assalaamu`alaikum wrb..
Terima kasih atas kunjungan anda dan mohon masukannya. Dengan anda meninggalkan sebuah komentar, Berarti anda telah ikut serta bersumbangsih mengembangkan Blog ini dan memberikan semangat untuk islah / perbaikan menulis bagi sipemiliknya. Maka banyak atau sedikit, lanjut atau berakhirnya materi sangat tergantung pada kualitas & jumlah komentarnya
Wassalaam...