Banyak penggunaan fi`il سَعٰى - يَسْعٰى -sa `aa- yas `aa dalam alquran yang prinsipnya sebangun yakni bermakna = "melakukan gerakan budaya" = beriman. Dalam arti umum berarti = berusaha / berbuat. Seperti contoh (2;114), (20;15), (5;33) dan lain sebagainya.
أَلقىٰ -alqaa-->Fi `il madhi alternatifnya menjadi fi`il berobject 2 yang dalam hal ini yakni object yang dilempari / dilontari dan object yang dilemparkan / dilontarkan.
حَيَّةٌ -Hayyatun, Alquran hanya menggunakannya di satu tempat saja yakni pada surat (20;20).
Maka untuk mencari maknanya, Selain mengacu dari grammarnya, selanjutnya dimulai mengacu dari (20;20) tersebut :
حَيَّةٌ -Hayyatun = فَأَلقىٰها فَإِذا هِىَ حَيَّةٌ تَسعىٰ --> Yang dilontarkan / ditancapkan nur menjadi aduk-adukkan nur dzulumat = Budaya ular = budaya belum menentu baik buruknya (20;20)
= اَحْلِهِ -ahlihii (20;10) = pertalian hidup selain dengan ilmu Allah msR (hal ini dilihat dari sebelum musa sami`na yakni pada ayat tersebut = هِىَ عَصاىَ أَتَوَكَّؤُا۟ عَلَيها وَأَهُشُّ بِها عَلىٰ غَنَمى وَلِىَ فيها مَـٔارِبُ أُخرىٰ = yang dimanfaatkan semasa kerja menggembala dulu (sebelum sami`na)
وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ = wasma` ghaira musma `iin
وَاسْمَعْ وانْظُرْنَا = wasma` wandzhurnaa
لَا سَمِعْنَا =laa sami`naa
وَ - wa, dan فَ - fa, adalah kata hubung bagi kalimat / kata manapun
ini sekaligus menjadi alasan kenapa diartikan "selanjutnya tiba-tiba" karena selain secara grammar, اِذَا - idzaa bisa berarti = secara tiba-tiba atau apabila, juga konteks sistimatik kalimatnya menunjukkan setelah dilontarkan kemudian menjadi حَيَّةٌ تَسعىٰ - hayyatun tas `aa.
kalau اِذَا - idzaa diartikan = apabila, biasanya diiringi kata hubung "فَ - fa" sesudahnya. Tapi disana cenderung = tiba tiba karena setelahnya tidak ada kata hubung lagi. Artinya tidak membutuhkan lagi fungsi atau penghubungnya. Dan biasanya juga ada pengiring fi`il amr / nahi setelah اِذَا - idzaa = apabila.
contoh 1 : فَاِذَا قَرَأْتَ الْقُرْاٰنَ فَاذْتَءِذْ باللّٰهِ - fa IDZAA qara talqur aana FAdz ta`idz billaahi....,
Contoh 2: Fa IDZAA qudiyatishshalaata FAntashiruu fil ardhi...
Selain itu, kalau kalimat sebelumnya adalah tag question (pertanyaan yg tidak butuh jawaban) , mengapa musa menjawabnya?? Artinya tetap perlu dijawab guna pertanyaan tersebut menjadi semacam kalimat kata hubung yang membuat kalimat قَالَ هِيَ عَصَايَ - qaala hiya ashooya ... menjadi kalimat syarat bagi kalimat jawab syarat أَلْقِهَا - alqiHAA....
maka syarat melontarkan Nur msR adalah bila object dakwahnya belum menentu baik buruknya (Nur msR atau zdulumat mssy).
Selain itu juga Karena banyak contoh dalam alquran yang terlihat nyata berupa tag question, seperti beberapa diantaranya اَفَرَأَيْتَ / تُمْ - afa ra aita / tum.., اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْأٰنَ - afalaa yatadabbaruunalqur aana dll
yang dimaksud dengan "bahasa bukan penentu makna" adalah arti secara harfiah / secara bahasa bukanlah yang menentukan makna. Tapi ke 4 nilai ilmu itulah yang menentukan maknanya. Lain halnya dengan kaidah kaidah atau hukum-hukum yang mengatur dalam berbahasa, dalam hal ini model bahasa percakapan tentu mempunyai aturan bukan??
Contoh lain surat (16;51)
وَقالَ اللَّهُ لا تَتَّخِذوا إِلٰهَينِ اثنَينِ ۖ إِنَّما هُوَ إِلٰهٌ وٰحِدٌ ۖ فَإِيّٰىَ فَارهَبونِ
Waqaala llaahu la tattakhidzuu ilaahaini tsnaini innamaa huwa ilaahun waahidun faiyyaaya farhabuuni
dalam 1 ayat diatas Allah dengan bahasa percakapan yang diturunkannya menggunakan 2 buah KPN yaitu هُوَ -huwa dan اَنَا -anaa. Bagaimana jadinya kalau kita tidak memahami aturan penggunaan bahasa model percakapan diatas?? disatu sisi Allah menyatakan dirinya sebagai هُوَ -huwa, dan di kalimat lain masih dalam satu ayat tersebut Allah memposisikan dirinya sebagai اَنَا -anaa. Nah kalau kita tidak memahaminya dengan teori bahasa dan makna yang dimaksud هُوَ -huwa dan اَنَا -anaa itu larinya kemana , maka akan timbul fitnah seperti contoh disini http://indonesia.faithfreedom.org/forum/memahami-kitab-suci-t42839/. Atau kita akan kedodoran ketika `atha`naa digelar Allah atas kematangan qualitas dan quantitas pilihan nur msR. kita sudah sama-sama ketahui bahwa yang namanya mu`min itu تَدْرِيْ مَا الْكِتَابُ - tadrii mal kitab = tidak makan isi duren tanpa mengenal dulu mana kulit mana isi dan membuka dulu kulitnya kemudian barulah makan isinya dan bahkan mu min harus tahu bagaimana proses kejadian sebuah duren itu sampai kepada sebuah kesimpulan bahwa semesta kejadian adalah pembuktian bagi sosial budaya.
Dari sini justru kita melihat tertundanya (bukan kegagalan) disebabkan oleh diri kita sendiri yang besifat tergesa-gesa. Jadi Allah memberi kepastiannya kalau mu min mengundangkan kepastian tersebut melalui keseimbangan kematangan perihal qualitas dan quantitas alquran msR. Baik teori bahasa maupun makna. Baik dalam penggunaan bahasa maupun pengetahuan akan makna sebenarnya. Sepertihalnya sebuah kulit harus terkait dengan isi. Sebuah alat / tehnik harus dapat menghantarkan kepada makna. Bukanlah alat penentu makna. Melainkan tanpa alat tidak akan pernah dapat mencapai makna sebenarnya.
Harap maklum...
Maaf, sy agak sulit mengikuti penjelasan ini...
ReplyDelete.
Maka untuk mencari maknanya, Selain mengacu dari grammarnya, selanjutnya dimulai mengacu dari(20;20) tersebut :
حَيَّةٌ -Hayyatun = فَأَلقىٰها فَإِذا هِىَ حَيَّةٌ تَسعىٰ --> Yang dilontarkan / ditancapkan nur menjadi aduk-adukkan nur dzulumat = Budaya ular = budaya belum menentu baik buruknya (20;20)
= اَحْلِهِ -ahlihii (20;10) = pertalian hidup selain dengan ilmu Allah msR (hal ini dilihat dari sebelum musa sami`na yakni pada ayat tersebut = هِىَ عَصاىَ أَتَوَكَّؤُا۟ عَلَيها وَأَهُشُّ بِها عَلىٰ غَنَمى وَلِىَ فيها مَـٔارِبُ أُخرىٰ = yang dimanfaatkan semasa kerja menggembala dulu (sebelum sami`na)
وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ = wasma` ghaira musma `iin
وَاسْمَعْ وانْظُرْنَا = wasma` wandzhurnaa
لَا سَمِعْنَا =laa sami`naa
وَ - wa, dan فَ - fa, adalah kata hubung bagi kalimat / kata manapun
Karena sy sdg fokus mencermati 20:10, lalu muncul ayat lain yg sy tdk tau surat dan ayatnya...
Lalu kata احله tidak ada di 20 : 10... yang ada kata لااهله
Mhn pencerahannya