Berikut ini adalah upaya sisitimatik ayat ayat alquran kedalam ikatan sejenis yang membicarakan tentang makna لَا اِلٰهَ اِلَّا الّلٰهُ -Laa Ilaaha Illallah.
Sebagaimana pada umumnya di kalangan masyarakat muslim Indonesia, Kalimat laa ilaaha illallah (لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ) diartikan dengan “Tiada Tuhan selain Allah”. Namun, benarkah terjemahan kalimat tersebut?
Ketahuilah, Dalam hal ini pemahaman yang benar tentang kalimat لَا اِلٰهَ اِلَّا الّلٰهُ -Laa Ilaaha Illallah tergantung dari benarnya Sudut memandang kita yang dalam memandang dan menilai, harus selalu mengacu dari susunan kebenaran makna ayat ayat yang tidak kontradiktif dalam keseluruhan bulat, serta penjajakan / penganalisaan ayat ayat kedalam pembuktian menjadi Objectif apa adanya. Semua itu tentu ditelusuri dimulai dari kaedah tata bahasanya. Oleh karena itu, Jika kita ingin mengetahui terjemahan dan makna yang benar dari kalimat tersebut, Mau tidak mau kita harus masuk terlebih dahulu dari kaidah-kaidah bahasa yang berlaku didalam alquran semata.
Mari kita lihat bagaimanakah terjemahan dan makna yang benar dari kalimat laa ilaaha illallah. Dimulai dari I’rob kata laa ilaaha illallah yaitu:
لاَ: لاَ النَّافِيَةُ لِلْجِنْسِ تَعْمَلُ عَمَلَ إنَّ وَهِيَ تَنْصِبُ الإِسْمَ وَتَرْفَعُ الْخَبَرَ
Laa: laa naafiyah liljinsi (menafikan semua jenis) beramalan inna yaitu memanshubkan isimnya dan memarfu’kan khobarnya.
إِلهَ: اِسْمَ لاَ مَبْنِيٌّ عَلَى الْفَتْحِ فِي مَحَلِّ نَصْبٍ
Ilaaha: isim laa yang mabni (tetap) atas fathah, menempati kedudukan nashob.
Asal kata “ilaah” adalah dari kata أَلَهَ -alaha ---->bersinonim dengan kata عَبَدَ - ‘abada = meng `abdi / beribadah, Atas wazan / pola فَعَلَ – يَفْعَلُ - fa’ala-yaf’alu. Sehingga tashrif isthilahinya menjadi أَلَهَ – يَأْلَهُ – إِلاهًا. alaha-ya lahu-ilaahan. إِلاهًا -“Ilaah” adalah isim mashdar, yaitu kata yang menunjukkan atas sebuah makna yang tidak terikat oleh waktu, dan mashdar adalah asal dari fi’il (kata kerja) dan asal dari semua isim musytaq (kata jadian). Isim mashdar dapat bermakna fa’il (subjek/yang menentukan keterangan kerja) dan dapat pula bermakna maf’ul bih (objek / yang ditentukan keterangan kerjanya). Berikut ini contoh sebuah mashdar yang dapat bermakna fa’il dan dapat bermakna maf’ul bih, diambil dari hadits riwayat Muslim tentang larangan berbuat bid’ah: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa roddun“.
Kata رَدٌّ -“roddun”adalah mashdar. Terdapat beberapa makna رَدٌّ -“roddun”. Alternatif mashdar “roddun” di sini bermakna fa’il, yaitu رَادٌّ -“rooddun” = “yang menolak”.
Sehingga makna hadits menjadi “Barang siapa yang mengerjakan laku perbuatan yang tidak ada tuntunannya menurut Sunnah kami, Maka yang demikian adalah yang menolak.” Maksudnya adalah menolak sunnah Rasul. Sedangkan alternatif lain, رَدٌّ -“roddun” bermakna maf’ul bih, yaitu مَرْدُوْدٌ- “marduudun”= “yang ditolak”. Sehingga makna hadits menjadi “Barangsiapa siapa yang mengerjakan laku perbuatan yang tidak ada tuntunannya menurut Sunnah kami maka yang demikian adalah yang ditolak.” Maksudnya adalah laku perbuatan / `amal tersebut bukanlah dari ajaran Allah menurut sunnah rasulNya karena tidak memenuhi syarat diterimanya .
Kemudian kembali ke اِلٰهٌ - “ilaah“, “ilaah”. Maknanya bisa fa’il atau bisa juga maf’ul bih
Kata “ilaah” di sini ada yang mengartikannya sebagai mashdar bermakna fa’il, Dan ada juga memaknainya sebagai maf’ul bih.
Adapun pemilihan makna yang benar, Kembali tergantung dari benarnya Sudut memandang kita yang dalam memandang dan menilai, harus selalu
mengacu dari susunan kebenaran makna ayat ayat yang tidak kontradiktif
dalam keseluruhan bulat, serta penjajakan / penganalisaan ayat ayat
kedalam pembuktian menjadi Objectif apa adanya.
Mari kita lihat makna “ilaah” sebagai fail sehingga kita tahu benar atau tidaknya makna tersebut.
Apabila pemilihan makna secara tidak bulat, Maka memaknai “ilaah” dengan makna fa’il akan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “laa ilaaha illallah” adalah لَا خَالِقَ إِلَّا اللهُ -“laa khooliqo illallah” = “tidak ada pencipta selain Allah” atau لَا رَبَّ إِلَّا اللهُ - “laa robba illallah” = "Tidak ada pengatur / pembimbing alam semesta selain Allah” atau لَا رَازِقَ إِلَّا اللهُ- “laa rooziqo illallah”= “tidak ada pemberi rizki selain Allah” dan makna-makna yang lain yang merupakan makna rububiyyah. Alternatif makna makna tersebut tidaklah salah, Tapi belumlah bulat dalam arti masih berupa bahan bahan dasarnya saja dan belum sepenuhnya mewakili istilah اِلٰهٌ - “ilaah“. Mengapa tidak salah??, Karena “ilaah” di sini dimaknai sebagai yang telah diyakini dan disetujui oleh kaum musyrikin. Kaum musyrikin Arab meyakini bahwa yang menciptakan, yang memberi rizki, dan yang mengatur urusan alam semesta adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Banyak ayat Al Qur’an yang menunjukkan bahwa orang-orang musyrikin dan kafir meyakini dan percaya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, di antaranya:
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
“Dan sungguh jika anda tanyakan kepada mereka(Yang bersikap dualisme), “Siapakah yang menciptakan semesta angkasa dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab, “Allah”…” (QS. Luqman:25)
قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ السَّمْعَ والأَبْصَارَ وَمَنيُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ الأَمْرَ فَسَيَقُولُونَاللّهُ فَقُلْ أَفَلاَ تَتَّقُونَ
“Tegaskanlah, “Siapakah yang memberi rizki kepada kalian dari angkasa dan bumi, atau siapakah yang menguasai pendengaran dan penglihatan, Juga siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, sebaliknya mengeluarkan yang mati dari yang hidup, Serta siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab, “Allah.” Maka tegaskanlah, “Maka apakah kalian tidak bertakwa ?” (QS. Yunus: 31)
Walaupun mereka berlaku syirik ataupun kufur, Akan tetapi pengakuan tersebut adalah bukti kebenaran akan keterangan ayat ayat tersebut dalam alquran, Jadi tidaklah cukup hanya sebatas pengakuan kepercayaan belaka. Sehingga walaupun “ilaah” ini dimaknai sebagai pencipta, Pembimbing, Pemelihara, Dan lain lain maka tetap saja menunjukkan kalau mereka (musyrik dan kafir) tetap tidak bersyahadat. Orang orang Arab khususnya adalah orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Namun, belum tentu bersyahadat. Mengapa? Karena mereka hanya sebatas mengakui sifat-sifat rububiyyah saja, Tetapi mereka tetap saja mengikut sertakan ajaran lain dengan ajaran Allah menurut sunnah rasulNya dalam prilaku kehidupannya sehari hari.
Oleh karena itu makna yang benar secara bahasa untuk “ilaah” adalah mashdar bermakna maf’ul bih, “ilaah” bermakna مَأْلُوْهٌ -“ma’luuh”atau sinonimnya yaitu مَعْبُوْدٌ مُطْلَقًا -“ma’buud muthlaq”= “yang di `abdi secara tidak terikat”. Sehingga makna “laa ilaaha” adalah لَا مَعْبُوْدَ -“laa ma’buuda“.
Kembali bahwa laa beramalan memanshubkan isimnya dan memarfu’kan khobarnya. Lantas, di mana khobar dari laa?
وَخَبَرُ لاَ مَحْذُوْفٌ تَقْدِيْرُهُ حَقٌ أَوْ بِحَقٍّ
Khobar laa dibuang (mahdzuuf), dan takdirnya adalah “haqqun” atau “bihaqqin“.
Mengapa khobar laa dibuang? Suatu kata boleh dibuang jika makna kalimat sudah dapat diketahui meskipun ada kata yang dibuang dari kalimat tersebut. Contoh dalam bahasa Indonesia agar lebih mudah dimengerti. Misalkan ada orang yang bertanya, “Siapa Nabimu?” maka jawabannya adalah “Muhammad”. Di sini tentu sudah diketahui maksud dari jawaban yang sangat ringkas tersebut, yang hanya terdiri dari satu kata “Muhammad” saja, yang mana kalimat lengkapnya yaitu “Nabi saya adalah Muhammad.” Meskipun ringkas tetapi kita dapat menangkap maksud dari kalimat tersebut. Suatu kalimat yang ringkas tetapi dapat dipahami maknanya tentu lebih efisien daripada kalimat yang panjang. Nah, demikian juga dalam bahasa Arab. Maka khobar laa pada kalimat tauhid dibuang karena orang-orang Arab pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah dapat memahami maknanya, karena mereka adalah orang-orang yang fasih dalam bahasa Arab. Oleh karena itu pulalah orang-orang musyrik Arab zaman dulu tidak mau mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah meskipun mereka mengakui bahwa Allah adalah robb mereka, karena mereka paham akan makna dan konsekuensi dari kalimat tauhid tersebut.
Sebagian orang mentakdirkan bahwa khobar laa yang dibuang itu takdirnya adalah “maujuudun” (مَوْجُوْدٌ) yang artinya “ada”, sehingga mereka memaknai “laa ilaaha illallah” dengan “laa ilaaha maujuudun illallahu” (لَا إِلهَ مَوْجُوْدٌ إِلَّا اللهُ) artinya “tidak ada sesembahan yang ada kecuali Allah”. Jika demikian maka ada beberapa konsekuensi yang fatal, di antaranya adalah:
- Kalau khobar laa yang dibuang ditakdirkan dengan “maujuudun” maka hal ini tidaklah sesuai dengan realita yang sesungguhnya. Karena realita menunjukkan bahwasanya selain Allah masih banyak yang diabdi yang lain. Ada orang yang menyembah matahari dan bulan, ada yang menyembah orang shalih, malaikat, patung, dewa, dan sebagainya.
- Kalau dimaknai dengan “laa ilaaha maujuudun illallah” maka konsekuensinya semua sesembahan yang ada di dunia ini pada hakikatnya adalah Allah. Contoh: karena patung berhala adalah sesembahan kaum musyrikin Arab dulu maka patung berhala adalah Allah, karena Yesus adalah sesembahan kaum Nasrani maka Yesus adalah Allah, karena ‘Uzair adalah sesembahan Yahudi maka ‘Uzair adalah Allah, karena dewa-dewa adalah sesembahan orang Hindu maka dewa-dewa adalah Allah. Tentunya tidak demikian bukan?
Oleh karena itu, yang benar adalah mentakdirkan khobar laa yang dibuang dengan “haqqun” atau “bihaqqin“. Sehingga kalimat yang lengkap sebenarnya adalah
لَا إِلهَ حَقٌّ إِلَّا اللهُ
laa ilaaha haqqun illallahu
dan maknanya yang benar yaitu
لَا مَعْبُوْدَ حَقٌّ إِلَّا اللهُ
laa ma’buuda haqqun illallahu
atau
لَا مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ إِلَّا اللهُ
laa ma’buuda bihaqqin illallahu.
Maknanya adalah “tidak ada yang diabdi secara Objectif selain Allah”.
إِلاَّ: أَدَاة الإِسْتِثْنَاءِ
Illa: alat istitsna (untuk mengecualikan).
لَفْظُ الْجَلاَلَةِ “اللهُ” : بَدَلٌ مِنْ خَبَرِ لاَ
Lafadz jalalah “Allah” sebagai badal (pengganti) dari khobar laa yang dibuang. Karena sebagai badal, maka i’rob lafadz jalalah “Allah” adalah sesuai dengan mubdal minhu (yang digantikan)nya yaitu khobar laa. Ingat, khobar laa mempunyai i’rob marfu’, maka badalnya yakni lafadz jalalah “Allah” juga ikut marfu’, yang mana lafadz jalalah “Allah” ini adalah isim mufrod (kata tunggal) yang marfu’ dengan tanda dhommah sehingga berbunyi “Allahu”.
Antara badal dengan mubdal minhu bendanya adalah sama. Maka khobar laa yaitu “حَقٌّ -alhaqqu” digantikan dengan “Allah” menunjukkan bahwa yang haq itu ialah Allah, Allah itulah yang haq.
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنََّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ الْبَاطِلُ وَأَنََّ اللَّهَ هُوَالْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang haq, dan apa saja yang mereka seru selain Allah adalah bathil. Dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Luqman: 30)
Demikianlah, semoga apa yang kami sampaikan dapat membantu kita dalam memahami kalimat tersebut yang sangat agung ini. Betapa suatu kenikmatan yang sangat besar jika kita dapat memahami makna kalimat laa ilaaha illallah dan mengamalkannya, sehingga berbuah kehidupan Jannah dariNya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barang siapa yang mati dalam keadaan dia mengilmui bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah yang haq selain Allah, maka dia akan masuk kehidupan Jannah.”
Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmush sholihat.
Wal ‘ilmu ‘indallaah
Dibawah ini adalah sistimatik ayat ayat alquran secara umum dalam ikatan sejenis yang akan memberikan makna pada kata اِلٰهٌ -Ilaahun.
لَو كانَ فيهِما ءالِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتا ۚ فَسُبحٰنَ اللَّهِ رَبِّ العَرشِ عَمّا يَصِفونَLau kaana fiihima aalihatun illa llaahu lafasadataa fasubhaana llaahi rabbi l`Arsyi `Aammaa yashifuuna
Kalaulah di keduanya ada Ilah Ilah selain Allah, niscaya keduanya itu telah rusak binasa. Maka Subhanallah pembimbing 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.(21;22)
هَؤُلَاء قَوْمُنَا اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ آلِهَةً لَّوْلَا يَأْتُونَ عَلَيْهِم بِسُلْطَانٍ بَيِّنٍ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا
Ha ulaa i qaumunaa ttakhadzuu min duunihii aalihatan lau laa ya tuuna `Alaihim bisulthaanin bayyinin faman azdhlamu mimmani ftaraa `Ala llaahi kadziban
Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai Ilah Ilah. Walau mereka(Ilah Ilah) tidak mendatangkan kekuasaan yang jelas atas mereka. Maka Siapakah yang lebih dzhalim dari siapa yang membikin bohong atas Allah?(18;15)
Note: Terjemah alquran di atas masih bersifat sementara dan belum mengandung nilai-nilai Ilmu dalam arti hanya sebagai alat pengantarnya saja. Oleh karena itu mohon koreksi bila ada kesalahan makna ataupun penulisan.
Mau wawasan lebih luas lagi?? Silahkan klik disini
0 Comments:
Post a Comment
Assalaamu`alaikum wrb..
Terima kasih atas kunjungan anda dan mohon masukannya. Dengan anda meninggalkan sebuah komentar, Berarti anda telah ikut serta bersumbangsih mengembangkan Blog ini dan memberikan semangat untuk islah / perbaikan menulis bagi sipemiliknya. Maka banyak atau sedikit, lanjut atau berakhirnya materi sangat tergantung pada kualitas & jumlah komentarnya
Wassalaam...